Banyak yang bilang sekarang bukannya zaman Siti Nurbaya lagi. Setiap lajang berhak mencari jodohnya sendiri, atas dasar kriteria yang juga ditentukannya sendiri. Harapannya dengan usaha “mandiri” nya ini, kelak is bisa berbahagia dalam perkawinannya. Namun dalam kenyataannya, tidaklah mudah mencari jodoh sendirian. Peran banyak pihakpun akhirnya kembali dibutuhkan.
Peran orangtua
Terkait dengan soal jodoh, yang pertama harus dipahami adalah jodoh, sebagaimana rezeki dan maut, adalah wewenang Allah.Tiadakuasa kita untuk menentukan. Tapi tentu saja harus ada usaha manusia untuk mendapatkan hal tersebut,” ujar Ustadzah Sinta Santi, Lc, lulusan Fakultas Syari’ah, Universitas Al Azhar, Kairo.
Psikolog Budi Darmawan juga sependapat. “Yang namanya jodoh itu bukan dinanti, tapi dicari. Jadi pengertian jodoh di tangan Allah itu bukan berarti kita bersikap pasif, tapi harus pro aktif,” jelasnya.
Sementara dalam hal tanggung jawab Budi memaparkan, “Tuntutan untuk menikah itu adalah tanggung jawab masing-masing pribadi. Tapi upaya untuk menikah itu tanggung jawab bersama.” Beliau menuturkan bahwa keluarga, khususnya orangtua, sangat berperan dan bertanggung jawab dalam menikahkan anak-anaknya.
“Orangtua bukan hanya berkewajiban memberikan nama yang baik untuk anak-anaknya, tapi juga bagaimana mengajarkan adab atau prilaku yang baik. Juga berkewajiban menikahkan anak itu sehingga dia memiliki satu keluarga,” terang suami Yoyoh Yusroh ini.
Mengenai bentuk upaya apa yang dilakukan keluarga untuk mempermudah anaknya berkeluarga, lanjut Budi, tentu berbeda-beda satu dengan yang lain. “Tetapi bahwa keluarga memiliki tanggung jawab untuk mengentaskan seorang anak keluar dari keluarganya sehingga membentuk satu keluarga, adalah sesuatu yang tak bisa dipungkiri dan dihindari,” tegas ayah 13 anak ini.
Ustadzah Sinta memberikan satu contoh sarana yang bisa digunakan para orangtua untuk mencarikan jodoh buat anaknya, yaitu lewat pengajian yang diikuti para ibu dan para bapak. Pada satu kesempatan di pengajian kaum ibu dan kaum bapak ini bisa dicoba untuk diungkapkan soal anak-anak mereka yang sudah pantas menikah. Siapa tahu bapak atau ibu lainnya bisa mencarikan jaian keluar. “Kondisi seperti ini, saya pikir bisa memberikan solusi juga,” imbuh Sinta.
Mengikuti perkembangan zaman dan pemikiran, kebanyakan orangtua akhirnya menyerahkan pencarian jodoh ini pada anak¬anaknya. Namun, di sini bukan berarti orangtua lepas tanggung jawab sama sekali. “Walau si anak menentukan sendiri pilihannya, tetapi orangtua tetap punya kewajiban melihat bagaimana akhlak calon yang diajukan si anak. Terutama juga terkait dengan masalah akidah,” papar Ustadzah Sinta, yang banyak membina majelis taklim kaum ibu ini.
Orangtua yang baik, tentu akan sangat mengutamakan sisi akidah ini. “Kesalahpahaman dalam hal agama akan berpengaruh pada masalah¬masalah lainnya,” imbuh ibu 5 anak ini.
Bagi si anak sendiri, demi kebaikan keluarga yang akan dibentuknya kelak, pendapat dan persetujuan orangtua pada calon yang dipilihnya haruslah diutamakan. “Karena yang namanya pernikahan itu berkaitan dengan silaturrahim keluarga besar. Jangan mengatakan, orangtua tidak setuju, ya tidak apa-apa, yang penting kita enjoy,” jelas Ustadzah Sinta. Di sini kembali ditunjukkan betapa peran orangtua teramat penting dalam soal jodoh ini.
Kalau memang si anak yakin akan calon yang telah dipilihnya dan memang terbukti balk, tinggal pandai-pandai dirinyalah mengambil hati orangtua. Tak ada gunanya bersikap sama-sama keras.
Peran orang sekitar
Selain orangtua, guru ngaji (murabbiy) pada siapa si lajang menimba ilmu agama juga berperan dalam mencarikan jodoh buat si lajang. Namun, kata Sinta, dalam menjalankan tanggung jawabnya harus dimengerti pula kesulitan yang ditemui para murabbi.
Fenomenanya, lanjut Sinta, jumlah akhwat lebih banyak daripada jumlah ikhwan. Dengan mempertimbangkan kesekufuan dalam berbagai segi, pilihanpun jadi semakin sempit. Kalaupun akhirnya bisa ditemukan yang cocok, proses yang berjalan tak berarti selalu mulus. Berbagai kendala dan hambatan adalah hal yang lumrah terjadi, entah dari si lajang sendiri atau dari keluarganya. Namun, seorang murabbi yang balk akan berupaya menemukan jodoh buat para binaannya, tentu sebatas kemampuan yang dimilikinya.
Masyarakatpun sebenarnya bertanggung jawab juga dalam mencarikan jodoh buat para lajang. “Apalagi kita lihat kondisi sekarang, yaitu dengan fenomena pergaulan yang luar biasa bebasnya,” ujar Sinta. Demi melindungi moral masyarakat, peran masyarakat sendiripun jadi keharusan.
Salah satu contoh yang mungkin bisa dilakukan adalah tetangga, sebagai orang dekat yang bisa jadi lebih mengenal karakter keluarga tetangganya, juga ikut peduli dalam soal jodoh ini. Tentu usaha ini harus dilakukan dengan cara-cara yang balk dan tak terkesan mencampuri urusan orang lain. “Kalau memang bisa ditindaklanjuti, mengapa tidak? Tentu kalau kita mau menerimanya tetap pertimbangkan soal kebaikan akhlak dan akidah tadi,” saran Sinta yang juga aktif di ormas Salimah ini.
Keputusan akhir
Setelah semua usaha yang dilakukan oleh orang-orang di sekeliling si lajang untuk mencarikan jodoh, keputusan akhir kini berpulang kepada si lajang lagi. “Upaya itu memang upaya bersama, tetapi kalau keputusan, tetaplah keputusan masing-masing pribadi,” kata Budi.
Sinta menambahkan bahwa memang peran orangtua, murabbiy, murabbiyah, dan yang lainnya adalah perantara saja. “Karenanya tidak mutlak harus jadi. Bisa jadi, bisa tidak,” ujar istri Al Mansyur Hidayatullah, Lc, ini. Yang berperan kemudian adalah takdir Allah saja.
Tapi sebagai catatan penting, menurut Budi, para lajang inipun seharusnya meningkatkan keberaniannya untuk menikah. “Kalau masalah kesiapan, pasti tidak ada seorangpun yang sampai detikterakhir mengakhiri masa lajangnya, dia betul¬betul sudah slap. Kesiapan sempurna itu tidak ada. Jadi memang harus didorong dengan keberanian,” terangnya.
Pun dalam soal menetapkan kriteria calon pendamping hidup. Budi berpendapat, ada perbe¬daan antara keinginan seseorang untuk mencari is¬tri/suami dan mencari ibu/ayah bagi anak-anaknya kelak. “Orang-orang yang mencari istri atau suami baginya, biasanya lebih sulit menemukan jodoh, dibandingkan dengan mereka yang berpikir men¬cari ibu atau ayah bagi anak-anaknya,” jelasnya.
Sebab, untuk mencari istri/suami lebih banyak sisi subjektif ketimbang objektifnya. Sementara saat kita berpikir untuk mencari ibu/ayah bagi anak-anak, visinya lain lagi. “Kalau dia ingin anak¬anak yang shaleh, tentunya dia akan mencari istri yang shaleha,” kata Budi.
Keberanian dan kriteria yang benar dari para lajang inilah yang antara lain menjadi kunci keberhasilannya menemukan jodoh. Maka, ada baiknya setiap lajang terus memperbaiki diri dan niat, untuk memudahkan dirinya sendiri dan orang¬orang di sekitarnya menemukan jodoh untuknya.
Majalah Wanita Ummi No.12/XVII April 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar